Basmalah



”Dengan menyebut nama Allâh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
SYUKUR NIKMAT.



إِنْ كَانَتْ عَيْنُ اْلقَلْبِ تَنْظُرُ اَنَّ اللّٰهَ وَاحِدٌ فِىْ مِنَّتِهِ فَالشَّرِ نِعَةُ تَقْتَدضِىْ اَنَّهُ لَابُدَّ مِنْ شُكرِ خَلِيْقَتِهِ .

"Apabila sang mentari mampu memandang ke-Esaan-an Allah itu sendiri dalam menganugerahkan karunianya, maka syari'at menetapkan, agar orang mau bersyukur sesama makhluk."

Mensyukuri nikmat Allah yang sangat banyak adalah kewajiban para hamba yang saleh. Meyakini bahwa hanya Allah yang memberi segala macam nikmat adalah hamba yang mengetahui tentang dirinya yang banyak kelemahan dan ketidak mampuan.

Selain bersyukur atas nikmat yang diterima oleh si hamba dari Allah, maka tugas hamba dengan sesamanya ialah saling memberi dan menerima apa yang telah mereka terima dari nikmat Allah. Manusia pun patut saling berterimakasih. Karena pemberian Allah yang dinikmati oleh manusia itu termasuk kerjasama erat yang telah dilakukan sesama mereka.

Syukur nikmat, tidak lain adalah bersyukur kepada semua pemberian Allah sedikit ataupun banyak. Rasûlullâh ﷺ mengingatkan, “Siapa yang tidak mensyukuri pemberian Yang sedikit, maka ia pun tidak akan dapat mensyukuri pemberian Yang banyak. Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia maka dia tidak akan bersyukur kepada Allah.“

Syekh Ataillah menerangkan:

وَاَنَّ النَّـاسَ فٖى ذٰلِكَ عَلٰى ثَلَا ثَةِ اَقْسَامٍ : غَاغِلٌ مُنْهَمِكٌ فٖى غَفْلَتِهِ قَوِيَتْ دَاءِرَةُ حِسِّـهِ وَانْطَمَسَتْ حَضْرَةُ قُدْ سِهِ فَنَظَرَ اْلإِحسَـانُ مِن اْلمَخْلُوْ قِيْنَ وَلَمْ يَشْهَـدْهُ نِنْ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ ، اِمَّـااعْتِقَـادًا فَشِرْكُهُ جَلِىٌّ وَاِمَّـااسْتِنَـادًا فَشِرْكُهُ خَفِىٌّ .

"Sesungguhnya manusia dalam hal nikmat Allah terbagi dalam tiga golongan: Orang yang lalai kepada Allah dan kelalaiannya sampai ke puncak. Orang ini sangat kuat inderanya sehingga mata hatinya tidak bersinar: Maka ia selalu melihat kebaikan itu datangnya dari makhluk, bukan dari Allah Ta'ala, Pengatur alam semesta. Jika cara seperti ini berdasarkan keyakinan, maka jadilah perbuatan syirik jali (jelas). Jikalau dianggap hanya sebagai sebab sebab, disebut syirik khafi (ringan)."

Tiga golongan tersebut dalam ungkapan Syekh Ataillah di atas adalah:

a. Orang yang lalai kepada Allah, sedangkan kelalaiannya telah mencapai puncak. Ia tidak berkeyakinan bahwa nikmat yang diterimanya dari Allah, bahkan ia lebih percaya nikmat Allah itu atas usaha dan jerih payahnya sendiri atau atas bantuan kawan-kawannya yang sama dengannya. Perbuatannya ini telah masuk kepada perbuatan syirik yang merusak akidah.

b. Golongan ahli hakikat, seperti dijelaskan oleh Syekh Ahmad Ataillah berikut ini:

وَصَـاحِبُ حَقِيْقَةٍ غَابَ عَنِ اْلخَلْقِ بِشُهُوْدِ اْلمَلِكِ اْلحَقِ وَفَنِىَ عَنِ اْلأَسْبَـابِ بِشُهُوْدٍ مُسَبِّبِ اْلأَسْبَـابِ فَهُوَ عَبْدٌ مُوَاجَهٌٍ بِاْلحَقِيْقَةِ ظَاهِرٌ عْلَيْهِ سَنَاهَا سَالِكٌ لِطَّرِيْقَـةِ قَدِاسْـتَوْلٰى عَلٰى مَدَا هَاغَيْرَ اَنَّهُ غَـرِيْقُ اْلأَنْوَارِ مَطْمُوْسُ اْلأٰثَارِ قَدْ غَلَبَ سُكْرُهُ عَلٰى صَحْوِهِ وَجَمعُـهُ عَلٰىفَرْقِهِ وَفَنَاؤُهُ عَلٰى بَقَـاءِهِ وَغَيْبَتُهُ عَلٰى حُضُوْرِهِ .

"Ahli hakikat adalah golongan yang telah melupakan makhluk karena langsung melihat Allah dengan basirahnya. Dia telah melampaui sebab, karena telah melihat Dzat yang menentukan sebab dan yang menjadikan sebab. Dialah hamba yang menghadapi hakikat yang tampak terang cahaya hatinya, yang sedang berjalan di atas jalannya. Sungguh ia telah mencapai puncak dan tengah tenggelam di alam cahaya, sehingga tidak nampak bekas-bekas makhluk Keyakinannya telah mengalahkan ingatannya kepada duniawinya, karena keinginannya berjumpa dengan Allah. Perasaannya ke-Ilahi-annya mengalahkan penglihatannya kepada makhluk. Sirnanya ia ke dalam pertemuan dengan Allah. mengalahkan perasaannya bersama makhluk. Hilangnya keadaan makhluk dari penglihatan telah melenyapkan kehadirannya di antara makhluk."

c. Golongan orang yang dekat dengan Allah dan dekat pula dengan makhluk. Ia berada hadapan Allah dan di tengah makhluk. Seperti yang disampaikan oleh Syekh Ataillah:

وَاَكْمَـلُ مِنْهُ عَبْدٌ شَىرِبَ فَازْدَادَ صَحْوًا وَغَابَ فَازْدَادَ حُضُوْرًا فَلَا جَمْعُهُ يَحْجُبُهُ عَنْ فَرْفِهِ وَلَا فَرْقُهُ يَحْجُبُهُ عَنْ جَمْعِهِ وَلَا فَرْقُهُ يَحْجُبُهُ عَنْ جَمْعِهِ وَلَا فَـنَـاؤُهُ يَصُدُّهُ عَنْ بَقَـاءِهِ وَلَا بَقَـاؤُهُ يَصُدُّهُ عَنْ فَنَـاءِهِ يُعْطِىْ كُلَّ ذِىْ قِسْطٍ قِسْطَهُ وَ .

“Dan hamba yang paling sempurna adalah hamba yang telah minum karunia Allah dari nur Tauhid-Nya. Bertambahlah kesadarannya. Ia tidak menampakkan sesuatu selain Allah. Menjadi eratlah kehadiran di hadapan Allah. Namun demikian tidaklah perjumpaannya dengan Allah menghalangi penglihatannya kepada makhluk, dan penglihatannya kepada makhluk, dan penglihatannya kepada makhluk tidak menghalangi pertemuannya dengan Allah. Dirinya tidak fana di Dzat Allah, sehingga tidak terhalang ia berhubungan dengan makhluk Allah. Demikian juga perasaannya bersama makhluk Allah tidak menghalangi fananya ke dalam Dzat Allah. Diberikan setiap bagiannya dan memenuhi yang mempunyai hak akan hak-haknya."

Golongan yang ketiga ini oleh hamba Allah yang dapat memenuhi kewajiban terhadap Allah dan tugasnya kepada sesama hamba-Nya. Ia tidak lupa kepada makhluk ketika berhadapan dengan khaliq dan tidak menjadi lalai apabila berada di tengah. makhluk. Inilah manusia yang paling istimewa dari khusus. Hamba Allah seperti ini tidak melupakan sesama hambanya, ketika sedang asyik ma'syuk dengan-Nya, dalam ibadahnya, dalam amalnya, dalam taffakurnya dan ibadah lain yang memerlukan konsentrasi. Akan tetapi ia pun tetap dalam keadaan taffakur dan tawadhu' ketika berada di tengah-tengah sesama hamba Allah. Ia tetap ikut mengurus kepentingan manusia akan tetapi ia tidak larut sehingga lalai kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya. Syekh Ahmad Ataillah menyebutkan:

وَقَدْ قَلَ اَبُوْبَكْرٍ الصِدِّيْقُ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ لِعَـانِشَةَ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهَا لَقَانَزَلَتْ بَرَاءَتَهَا مِنَ الإِفْكِ عَلٰى لِسَانِ رَسُوْلِ اللّٰهِ ﷺ: يَاعَاءِشَـةُ اُشْكُرِىْ رَسُوْلِ اللّٰهِ ﷺ فَاقَالَتْ : وَاللّٰهِ لَا اَشْكُرُ اِلّٰلهَ دَلَّهَااَبُوُْبَكْرٍ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ عَلَى اْلمَقَامَ اْلأَكْمَـلِ مَقَـامَ اْلبَقَـاءِ اْلمُقتَضِىْ لِإِشْبَـاتِ اْلأٰثَارِ وَقَدْ قَالَ اللّٰهُ تَـعَـالٰى : اَنِ شْكُرْلِىْ وَلِوَالِدَيْكَ وَقَالَــ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ : لَا يَشْكُرُ النَّـاسَ وَكَانَتْ هِىَ فِى ذٰلِكَ اْلْـوَقْتِ مُصْطَلِمَـةً عَنْ شَـاهِدِهَا غَاءِبَةً عنِ اْلأٰثَارِ فَلَمْ تَشْهَدْ اِلَّا اْلوَاحِدَ اْلقَهَارَ .

Sungguh telah berkata Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, ia berucap kepada Aisyah ra. Ketika Allah menurunkan ayat yang menerangkan kesuciannya dari tuduhan-tuduhan orang-orang munafik yang diturunkan kepada Rasûlullâh ﷺ Abu Bakar berkata, “Wahai Aisyah, bersyukurlah kepada Rasûlullâh ﷺ . Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan bersyukur melainkan hanya kepada Allah.“ Abu Bakar menunjukkan kepada Aisyah tingkat kedudukannya yang lebih sempurna yaitu kedudukan baqa' yang mengakui tetap adanya makhluk. Sesungguhnya Allah SWT. telah berfirman,“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu. Dan Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur kepada sesama manusia.“ Sedangkan pada saat itu perasaan Aisyah sedang terpengaruh dengan masalah yang dialaminya, sehingga lupa pada makhluk di sekitarnya. Waktu itu ia tidak melihat sesuatu kecuali Dzat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.“

Ketika Syekh Ataillah ditanya tentang hadist tersebut ia menjelaskan:

وَ قَالَ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ لَمَّاسُـءِـلَ عَنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِىْ فِى الصَّلَاة (قُرَّةُ اْلعَبْنِ كِنَايَةٌ عَنْ غَايَةِ اْلفَرَحِ وَالسُّرُوْرِ وَاللَّذَّةِ فَكَأَنَّهُ يَقُوْلُــ: وَجُعِلَتْ غَايَةُ فَرَحِىْ وَالسُّرُوْرِىْ فِى الصَّـلَاةِولِمُشَا هَدَةِ الرَّبِّ فِيْهَا) هَـلْ ذٰلِكَ خَاصٌّ بهِ اَوْلِغَيْرِهِ مِنْ اُمَّتِهِ مِنْهُ شِــرْبٌ وَنَصِيْبٌ؟ فَأَجَابَ اِنَّ قُرَّةَ اْلعَيْنِ بِالشُهُوْدِ عَلٰى قِدْرِاْلمَعْرِفَةِ بِاْلمَسْهُوْدِ فَالرَّ سُوْلُ صَلَوَاتُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَيسَلَامُهُ لَيْسَ مَعْرِفَةُ غَيْرِهِ كَمَعْرِفَتِهِ فَلَيْسَ قرَّةُ عَيْنِ كَفُرَّتِهِ وَاِنَمَّا قُلْنَا اِنَّ قُرَّةَ عَيْنِهِ فِىْ صَـلَاتِهِ بِشُهُوْدِهِ جَلَالَ مَشْهُوْدِهِ لِأَنَّهُ قَدْ اَشَـاَشَـارَاِلَ ذٰلِحك بِقَوْلِهِو فِى الصِّلَاةِ وَلَمّ يَقُلْ بِالصَّلَاةِ، اِذْهُوَ صَلَوَاتُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَسَلَامُهُ لَا تَقُرُ عَيْنُهُبِغَيْرِتِهِ، وَكَيْفَ وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى لَاتَكُوْنُوقُرَّهُ اْلعَيْنِ بِهَا وَقَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالٰى: قُلْ بِفَضلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذٰ لَكَ فَلْيَفْرَ حُوْا. فَاعْلَمْ اَنَّ اْلأٰيَةَ قَدْ اَوْمَأَتْ اِلَى اْلجَوَابِ لِمَنْ تَدَبَرَّ سِرَّالجِطَابِ لِمَنْ تَبَّرَ سرَّ اْلخِطَابِ اِذْ قَالَ : فَبِزٰ لِكَ فَلْيَفْرَ حُوْا وَمَاقَالَ : فَبِزٰ لِكَ : فَافْرَىْ يَامُحَّمَدُ قُلْ لَهُمْ فَلْيَفْرَا بِاْلإِحسَانِ وَالتَّفَضَّلِ وَلْيَكُنْ فَرَحَكَ اَنْتَ بِاْلمُتَفَضِّلِ وَلْيَكُنْ فَرَحَكَ اَنْتَ بِاْلمُتَفَضِّلِ كَمَا قَالَ فِى اْلأُخْرٰى : قُلِ اللّٰهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِىْ خُوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ .

“Dan telah dijadikan ketenangan hatiku dalam shalat. (Qurratul 'aini merupakan bahasa kinayah dari puncak kesenangan, kegembiraan dan kelezatan. Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda: "Dan telah dijadikan puncak kesenangan dan kegembiraanku dalam shalat, karena aku melihat Allah dalam shalatku itu). Apakah hal ini khusus untuk Nabi ﷺ sendiri, apakah umatnya jugak mendapat bagian? Jawabnya, " Sesungguhnya kesenangan hati dengan melihat kebesaran Allah itu menurut kadar kekuatan makrifatnya terhadap apa yang dilihat, sebab makrifat Rasûlullâh ﷺ tidak dapat disamakan dengan makrifat seseorang, karena tidak ada kepuasan seperti kepuasan beliau. Maka sesungguhnya saya katakan bahwa kepuasan beliau ada di dalam shalat, karena beliau telah menyaksikan kebesaran dari apa yang dilihatnya. Nabi Muhammad ﷺ sendiri telah mengisyaratkan dalam sabdanya, dengan bunyi di dalam shalat tidak mengatakan, dengan shalat, Nabi Muhammad ﷺ tidak merasa senang hatinya, tidak bersama Tuhannya. Bagaimana tidak demikian, padahal beliau sendiri menganjurkan untuk mencapai tingkat itu di dalam salah satu sabdanya, "Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihatnya." Mustahil kalau ia melihat Allah dan apa yang ada disamping Allah. Jika ada orang berkata: Kebahagiaan dan kelezatan hati itu bisa didapat dalam sholat. Karena shalat itu merupakan karunia Allah. dan sumber pemberian-Nya. Maka bagaimana ia tidak bergembira dengan shalat, bagaimana hati tidak senang dengan shalat, padahal Allah SWT telah berfirman, "Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Ketahuilah bahwa ayat ini telah memberikan isyarat untuk menjawab pertanyaan orang yang memperhatikan rahasia kata-kata, karena Allah SWT berfirman, " Hendaklah dengan itu mereka bergembira." Dan tidak mengatakan, maka dengan itu bergembiralah wahai Muhammad. Seakan-akan Allah SWT. berfirman, "Katakan kepada mereka, hendaklah mereka bergembira dengan kebaikan dan karunia Allah SWT dan hendaklah kamu gembira dengan pemberian karunia itu, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam ayat lain, " Katakanlah, Allah-lah yang menurunkan, biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan." (QS. Al-An'am: 91).

Syekh Ataillah mengatakan:

اَلنَّاسُ فٖى وُرُوْدِ اْلمنَنِ عَلٰى ثَلَاثَةِ اَقْسَامٍ: فَرِحٍ بِامِنَنِ لَا مِنْ حَيْثُ مُهْدِيْهَا وَمُنْشِءُـهَا وَ لٰكِنْ بِوُجُوْدِ مُتْعَتِهِ فِيْهَا، وَ فَهٰذَا منَ اْلغَافِلِيْنَ يَصْدُقُ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالٰى : حَتٰۤى اِذَا فَرِحُوْابِمَاۤ اُوْتُوْاۤ اَخذْ نَهـمْ بَعْتَةً، وَفَرِحٍ بِاْلمَنَنِ مِنْ حَيْثُ اِنَّهُ شَهِدَ هَا مِنَةً مِمَّنْ اَرْسَلَهَا وَنِعْمَةً مِمَّنْ اَوْصَلَهَا يَصْدُقُ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالٰى :

“Manusia dalam menghadapi karunia nikmat Allah terbagi tiga. Pertama. Orang bergembira dengan nikmat itu, bukan kepada pemberinya, akan tetapi semata-mata karena kelezatan itu saja. Orang ini termasuk orang yang lalai, sesuai dengan firman Allah SWT, “Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami (Allah) siksa mereka dengan sekonyong-konyong.“ (QS. Al-An-Na'am: 44).

Kedua. Orang yang bergembira dengan karunia tersebut, karena ia mengerti bahwa karunia yang diterimanya sebagai pemberian dari Dzat yang telah memberinya, yaitu Allah, sesuai dengan firman Allah Ta'ala:

قُلْ بِفَضلِ اللّٰهِ وَبِرَخْمَتِهِ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفرَحُوْا هُوَخَيْرٌ مِمَّـا يَجْمَعُوْنَ، وَفَرِحٍ بِاللّٰهِ مَاشَغَلَهُ مِنَ اْلمنَنِ ظَاهِرُ مُتْعَتِهَا وَلَا بَطِنُومِنَّتِهَا بَلْ شَغَلَهُ النَّظَرُ اِلَى اللّٰهِ عَمَّا سِوَاهُ وَاْلجَمْعُ عَلَيْهِ فَلَا بَشْهَدُ اِلَّا اِىَّاهُ يَصْدُقُ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالٰى :قُلِ اللّٰهُ ثُمَّاذَرْهُمْ فِىْ خَضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ.

“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.“ (QS. Yunus: 58).

Ketiga. Orang nikmat hanya bergembira dengan Allah tidak terpengaruh oleh kelezatan nikmat lahir ataupun batinnya. Sebab ia sibuk memperhatikan Allah Ta'ala daripada selain Allah. Ia merasa selalu berkumpul dengan Allah sehingga ia tidak melihat siapa pun selain Allah sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Katakanlah, Allah jualah (menurunkannya) kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan.“ (QS. Al-An'am: 91).

Perlu dipahami bahwa syukur itu adalah sikap jiwa hamba Allah kepada Al-Khalik, seperti dikatakan oleh Asy Sybly, “Syukur itu adalah kepada Pemberi nikmat (Al-Khalik), bukan kepada yang diberi (nikmat). Oleh karena itu bersyukur kepada Allah SWT sebagai Dzat yang menganugerahkan rahmat kepada manusia menjadi kewajiban dan termasuk ibadah. Tanpa syukur kepada Allah SWT. maka nikmat akan berubah menjadi laknat. Abdul Aziz Al Mahdawy menyebut dengan penjelasannya: Orang yang tidak bersyukur kepada Pemberi rahmat, maka rahmat itu akan berubah menjadi bala' Sedangkan bala' adalah laknat yang sangat berbahaya bagi manusia.

Demikian juga orang yang menyalahgunakan nikmat, termasuk orang yang tidak syukur nikmat. Terutama orang yang menggunakan nikmat untuk perbuatan maksiat, ia telah masuk kepada tempat yang mendatangkan bala' dan laknat.

Apabila rahmat Allah tidak dimanfaatkan untuk kebaikan, sama halnya ia telah mencampur susu dengan air selokan yang berbau busuk. Allah Ta'ala Maha Pemberi rahmat, tentu akan murka. Berhati-hatilah mempergunakan rahmat dan kenikmatan dari Allah SWT.



🙏