Basmalah



”Dengan menyebut nama Allâh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
BENCANA SEBAGAI UJIAN.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.



لِيُخَفِـّفَ اَلَمُ اْلبَلَاءِ عَلَيْكَ عِلْمُكَ بِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ ه‍ُوَاْلمُبْلِىْ لَكَ ، فَالَّذِىْ وَاجَهَتْكَ مِنْـهُ اْلأَقْدَارُه‍ُوَ الَّذِىْ عَوَّدَكَ حُسْنَ اْلإِخْتِيَارِ .

"Sebenarnya kesusahan dari bencana yang menimpamu, akan menjadi ringan, apabila kalian sudah mengetahui bahwa Allah Ta'ala sedang mengujimu. Sebab Dia-lah yang telah mengarahkan kamu untuk mengadakan pilihan yang paling baik."

Apabila manusia memahami bahwasanya suatu cobaan yang datang dari Allah Swt., diterima dengan ridha hati, dan difahami pula sebagai anugerah, maka ia akan menerimanya tidak dengan hati sedih, bahkan akan menjadi suatu yang sangat ringan. Allah Swt., memberi cobaan kepada para hamba-Nya, tidaklah berarti Allah Ta'ala membenci, akan tetapi Allah Ta'ala menunjukkan kasih sayang dengan memperhatikan hamba yang dicoba itu. Demikian pula Allah Ta'ala memberi kesempatan kepada para hamba untuk berikhtiar sepenuh hati, agar segala yang menimpanya mendapat jalan keluar dengan pertolongan dan izin Allah semata. Allah Swt., berfirman dalam surat Al-Baqarah: "Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi kamu,dan barangkali apa yang kamu suka itu belum tentu jelek bagi kamu."

Abu Thalib Al Makky menjelaskan tentang ayat ini, yang dimaksud membenci dalam ayat ini ialah membenci penyakit, kebodohan, kemiskinan yang menimpa seseorang. Belum tentu manusia yang tidak memiliki hal-hal tersebut, lalu menjadi baik dan beruntung baginya, bahkan sebaliknya, belum tentu orang yang memiliki harta benda yang banyak, atau tidak pernah ditimpa kesusahan lalu jelek bagi mereka dan tidak termasuk orang beruntung atau merugi.

Banyak sekali orang suka kepada harta, atau berlimpah-limpah harta benda yang dimilikinya, demikian juga kesehatan dan kemasyhuran, belum tentu baik bagi mereka di sisi Allah Ta'ala. Seperti yang semakna dengan ayat, "Allah melimpahkan kepada mereka kenikmatan lahir dan batin." dimaksud kenikmatan dalam ibadah yang dianugerahkan Allah di dunia dan di akhirat.

Ali Daqqaq berkata, "Orang yang selalu mendapat taufiq dari Allah Swt., ialah mereka yang terpelihara ibadahnya, dan terjaga imannya di saat menghadapi ujian dan cobaan dari Allah Swt. Orang yang selalu menjaga ibadahnya dengan mengendalikan kehendak hawa nafsunya, maka imannya pun terpelihara, dan jiwanya akan menjadi tenang menghadapi setiap ujian dari Allah Ta'ala. Seperti dikatakan juga oleh Al Jundi yang ia lihat dalam mimpinya," Wahai Junaid, ia mendengar suara memanggil namanya. Seakan-akan Allah berkata kepadanya: "Aku (Allah) menciptakan makhluk, maka mereka semua menyatakan kecintaan kepada-Ku. Ketika Aku menciptakan dunia, sembilan puluh persen melarikan diri dari-Ku, yang tinggal hanya sepuluh persen, ketika Aku menciptakan surga, yang lari dari-Ku sembilan persen, tinggal lagi satu persen.

Ketika Aku menciptakan neraka, mereka yang lari dari-Ku dari sisanya. Aku berfirman kepada manusia yang sisa paling sedikit itu," Kalian semua Aku beri dunia, akan tetapi tidak mau, Aku beri surga juga tidak mau, Kuberi neraka juga tidak takut, Aku timpakan musibah juga tidak lari, sekarang apa yang sebenarnya kalian inginkan?" Mereka menjawab, "Engkau adalah Tuhan kami, yang Maha Mengetahui keinginan kami, maka terserah apa yang Engkau kehendaki." Allah berfirman, "Mereka itulah hamba-hamba-Ku yang sebenarnya.

Hamba yang shaleh dalam mencari makrifat kepada Allah berusaha menyempurnakan ibadahnya dari saat ke saat, sehingga makin sempurna, dan menuju tercapainya maqam makrifat tertinggi. Si hamba tidak mengikatkan dirinya dengan kehendaknya sendiri dalam menjalankan tugas hidup dunianya. Seluruh kegiatan hidup rohani maupun jasmani seluruhnya diikatkan kepada kehendak dan izin Allah semata. Ia tidak mencari sesuatu karena kemampuannya sendiri, akan tetapi ia berjalan di atas kehendak dan kasih sayang serta keadilan Allah Swt.

Kedudukannya sebagai hamba, benar-benar dipertaruhkan sebagai benda yang diatur oleh pemiliknya. Ia bukannya tidak percaya kepada ikhtiar, akan tetapi ikhtiar baginya semata-mata kehendak Allah jua, bagi keaktifan akal pikiran sebagai suatu kesempurnaan anugerah dari Allah, yang harus dimanfaatkan kepada Allah Ta'ala semata.

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْۤا اَنْ يَّقُوْلُوْۤا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَـنُوْنَ .

"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, kami telah beriman dan mereka tidak diuji?" (QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 2)

🙏