Basmalah



”Dengan menyebut nama Allâh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
HARI RAYA SANG MURID.



وُرُوْدُاْلفَـاقَاتِ اَعْيَـادُ اْلمُرِيْدِيْنَ.

”Datangnya kesukaran, merupakan hari raya bagi para murid.”

Ketika manusia berada dalam situasi hari raya, mereka sangat gembira ria, sebagaimana sebagian orang sangat senang dan sangat gembira apabila ia dapat menuruti panggilan syahwatnya, dan apa yang menyenangkannya. Demikian itulah yang biasa dimaklumi dari kehidupan manusia umumnya.

Akan tetapi di samping itu pula orang yang merasa gembira, karena ia dapat mengekang panggilan hawa nafsu dan syahwatnya, akibatnya ia hidup dalam kesukaran, karena bertentangan dengan kehendak umumnya manusia. Mereka ini adalah orang-orang yang tertentu dari murid-murid yang berkeinginan teguh agar sampai kepada Allah. Sebab dalam situasi diri yang berkekurangan, selalu dalam keadaan sempit dan sulit, mereka akan cepat sampai kepada Allah dalam tingkatan makrifat yang menyampaikan mereka untuk memperoleh rida Allah Ta'ala. Mereka dinamakan muridin. Mereka menjauhkan diri dari hawa nafsu yang akan membawa akibat jauh dari Allah Ta'ala. Terutama keperluan yang memberi kenikmatan badani.

Mereka menjaga amal ibadah agar tidak dihinggapi oleh kesenangan sementara, seperti makan enak, syahwat, kesenangan mata dan telinga, baik sengaja ataupun terlintas. Mereka memilih jalan yang menurut mereka sebagai jalan yang akan membawa bermakrifat dan arif kepada Allah Ta'ala. Oleh karena itu mereka menghadapi bermacam-macam kendala yang menggoda, seperti menahan panggilan hawa nafsu yang umumnya dikerjakan manusia biasa.

Justru dalam situasi berkekurangan dan jauh dari kesenangan badaniah itulah mereka merasa gembira dan memperoleh kenikmatan. Seperti mereka merayakan hari raya yang menyenangkan. Mereka merasa mendapatkan kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Ada kekuatan yang masuk ke dalam jiwa mereka, inayah dan hidayah Allah. Mereka telah ditempa oleh latihan-latihan yang menjauhkan diri dari kesenangan yang yang akan merusakkan cita-cita dan himmah. Mereka telah dihiasi oleh akhlakul mahmudah yang menjadi sumber dari kehendak-kehendak suci yang mereka cari.

Sifat-sifat terpuji yang menghiasi diri mereka dengan merubah kebiasaan umum menjadi kebiasaan khusus. Kesedihan menjadi kegembiraan, kesempitan menjadi kelonggaran, kelemahan menjadi kekuatan, kemiskinan menjadi kekayaan, kehinaan menjadi kemuliaan, keadaan sakit menjadi sehat, mereka mendapatkan manisnya iman yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Mereka merubah perilaku yang biasa menjadi hiasan jiwa yang lebih mendekatkan mereka kepada Allah Jalla Jalaluh, dan mendapatkan kebesaran jiwa yang sangat bermanfaat dalam menempuh jalan makrifat yang mereka tuntut.

Memang kadang-kadang di dalam kesedihan dan kesempitan manusia akan memperoleh secerca kebahagiaan dan kelonggaran, dan di dalam ibadah orang mendapatkan kenikmatan dan kemanisan. Telah berkata Syekh Ataillah, : ”Terkadang seseorang mendapatkan tambahan karunia, di saat kesukaran, yang tidak diperolehnya dengan puasa dan shalat.”

Karunia Allah itu tidak hanya diperoleh dalam puasa dan shalat saja, akan tetapi dalam kesedihan, kesempitan hidup, kekurangan dalam hal-hal tertentu, atau musibah yang menimpa, manusia pun mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan khusus, dan justru dalam suasana yang sempit itulah mereka merasakan karunia Allah yang terselip dalam penderitaan itu. Kesedihan, kesempitan, seperti sakit, kekurangan dalam hidup, dan lain-lain telah memberikan dan mensucikan diri dan jiwa mereka dari kotoran dan mengangkat harakat mereka ke tempat yang terpuji dan hidup yang luhur. Mereka telah diangkat ke tempat kemakrifatan Allah.

Sedangkan ketika mendirikan salat dan puasa manusia berada dalam dua godaan yaitu ikhlas dan riya'. Manusia kebanyakan tidak sadar, terdorong kepada riya'dan godaan yang menyenangkan mereka. Demikian juga dalam ibadah lainnya.

Di dalam penderitaan dan kesempitan hidup, serta tertimpa musibah, manusia cepat sadar akan dirinya, dan secara tulus menerima cobaan-cobaan hidup. Kemudian menempatkan cobaan hidup sebagai pijakan untuk mencari rida Allah melalui ketabahan jiwa. Dengan ketabahan jiwa dan keteguhan iman, manusia akan merasakan kenikmatan tersendiri. Itulah tambahan karunia Allah yang khusus dianugerahkan kepada hamba Allah yang ridha.

Pengertiannya memang demikian, di dalam kesedihan terselip kenikmatan, dan di dalam kenikmatan terselip ridha. Syekh Ataillah juga menjelaskan :–الْفـاقَاتُ بُسُطُ اْلمَوَاهِبِ – ”Di dalam kesukaran itulah terhampar hidangan sebagai nikmat dari Allah Swt.”

Allah menguji seorang hamba dengan kesusahan dan kesempitan hidup karena Allah akan memberikan pahala dan menghapus dosa-dosanya, karena beberapa amal ibadah tidak cukup menghapus dosanya dan menerima karunia Allah yang disediakan untuknya.

Syekh Ataillah mengingatkan:

إِنْ اَرَدْتَ وُرُوْدَ اْلمَوَاهِبِ عَلَيْكَ صَحِّحِ اْلفَقْرَ وَاْلفَاقَةَ لَدَيْكَ إِنَنَّمَاالصَّدَ قَاتُ لِلْفُقَرَآءِ .

”jika kalian menginginkan datangnya pemberian Allah, sungguh-sungguhlah di kala engkau dalam keadaan fakir dan sulit, seperti firman Allah Ta'ala. Sesungguhnya sedekah itu untuk kaum fakir.”

Anugerah Allah Swt. kepada hamba-hamba yang taat, dan pemberian yang sangat banyak dari Allah, tidak hanya berupa materi, akan tetapi Allah memberikan kenikmatan_Nya berupa kepuasan batin. Kepuasan rohaniah ini datangnya bukanlah ketika manusia dalam keadaan sedang gembira, akan tetapi ketika hamba-hamba Allah yang saleh itu dalam keadaan sulit dan sempit hidupnya. Dalam keadaan fakir lahiriah inilah Allah Ta'ala menganugerahkan kepuasan batin yang luar biasa, sehingga kesedihan itu menjadi kegembiraan, kesempitan menjadi kelonggaran, kemiskinan menjadi kekayaan.

Semua peristiwa yang dirasakan oleh manusia berupa apa saja, tidak hanya kesulitan dan kesempitan, termasuk juga kegembiraan dan kesenangan, adalah ujian dan cobaan dari Allah Swt. Setiap ujian dari Allah terselip di dalamnya rahasia kehendak Allah yang harus diterima dengan rida oleh hamba Allah yang saleh.

Ungkapan Syekh Ataillah di atas memberi isyarat kepada hamba-hamba Allah agar segala amal ibadah, lahiriah maupun batiniah, bersifat sungguh-sungguh menyatakan diri di hadapan Allah Swt. sebagai hamba yang taat lahir dan batin. Apabila kita menyatakan kehinaan diri di hadapan Allah Ta'ala, maka Allah Ta'ala, maka Allah akan menunjukkan kemuliaan dan keagungan ketika memberi Inayah kepada para hamba. Oleh karena itu nyatakan semua apa yang engkau perlukan dari Allah, dengan sifat orang mukmin yang saleh, kelemahan dan kesedihan, kerendahan pikir dan rasa, pasti Allah akan menolongmu, dengan kemahabesaran_Nya dan keagungan sifat-sifat_Nya.

Keyakinan orang-orang mukmin kepada sifat-sifat kemuliaan Allah, kasih sayang dan rasa Allah, menjadikan hamba-hamba Allah tetap berharap kasih sayang_Nya itu. Semua yang diterima dari_Nya bukanlah hal yang perlu dianggap sebagai suatu yang menyulitkan, akan tetapi Allah menghendaki sesuatu yang lain melalui ujian dan cobaan yang jelas dan positif.

Allah Swt. adalah Rabbun (pendidik dan pengawas sesuai kemuliaan sifat_Nya). Dengan sifat-sifat_Nya itu, Allah Swt. menyeleksi manusia, mana iman yang benar dan mana iman yang palsu.

Allah Ta'ala mengingatkan manusia dalam surat Al Ankabut ayat 3:

وَلَقَدْ فَتَـنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَـعْلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكٰذِبِيْنَ .

"Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 3)

🙏