Basmalah



”Dengan menyebut nama Allâh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
NASIHAT BAIK.



مَنْ عَبَّرَ مِنْ بِسَاطِ اِحْسَانِهِ أَصْمَتَتْـهُ اْلإِسَاءَةُ وَمَنْ عَبَّرَ مِنْ بِسَاطِ اِحْسَانِ اللّٰهِ اِلَيْهِ لَمْ يَصْمُتْ اِذَا اَسَاءَ .

”Siapa yang memberi nasihat dengan memandang dirinya baik, maka dia akan berdiam diri apabila berbuat kesalahan. Dan siapa yang memberi nasihat, karena memandang (apa yang ia ucapkan) sebagai kebaikan dari Allah untuk dirinya, maka dia tidak berdiam diri apabila berbuat kesalahan.”

Memberi nasihat untuk dijadikan mauizatun hasanah (teladan baik) sesama hamba Allah adalah perbuatan yang utama. Akan tetapi memberi nasihat karena merasa diri kita adalah orang baik, berilmu, dan saleh, adalah perbuatan yang kurang baik. Sebab, apabila pada suatu waktu ia tergelincir kepada perbuatan jelek atau salah menyampaikan nasihat, maka akan tumbuh perasaan malu karena bersalah, yang berakibat ia akan bersikap diam atau tidak lagi memberi pelajaran dan nasihat-nasihat.

Sebagai pelajaran yang baik bagi para Da'i atau Mubaligh agar berhati-hati dalam menyampaikan ajaran Allah.

  • Sampaikan nasihat atau pelajaran (tabligh) dengan hati yang tulus ikhlas, semata-mata karena Allah.

  • Berniatlah dalam hati bahwa tabligh yang ia laksanakan semata-mata melaksanakan kewajiban yang diizinkan Allah dalam rangka dakwah Islam, amar ma'ruf nahi munkar.

  • Hindarkan perasaan dari dalam hati, bahwasanya apa yang disampaikan dan nasihat yang diberikan, adalah karena kepandaian dirinya sendiri, kecakapan pembicaraannya sendiri, atau ilmu yang ia kuasai. Perasaan seperti ini akan melahirkan rasa angkuh, kemudian bersifat riya', yang akan merusak amal ibadah.

  • Kekokohan tekad di dalam jiwa, bahwasanya nasihat dan tabligh yang akan disampaikan dan yang telah disampaikan, banyak atau sedikit karena ingin mencari rida Allah semata, melalui jihad dakwah yang terpikulkan di atas pundaknya.

  • Buatlah rencana tabligh secara berencana, dengan persiapan matang, melalui pendekatan yang efektif dan tertib, agar apa yang disampaikan berhasil dan diterima oleh masyarakat, sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul.

  • Sepanjang sudah dipahami dan dihayati sampaikan dengan adab Islam, dan sepanjang yang belum dipahami benar, hendaklah dipelajari dengan sungguh-sungguh yang tertib berencana.

  • Bergaul dengan masyarakat secara baik serta tunjukkan tata pergaulan Islam dengan teladan terpuji, agar apa yang akan disampaikan, telah dimaklumi oleh masyarakat karena keindahan akhlak dan kesalehan hidupmu.

Syeikh Abul Abbas Al Mursy menjelaskan, bahwa masyarakat itu dapat dibagi dalam tiga kelompok:

  1. Kelompok yang merasa, apa yang dikerjakan hanya ditujukan untuk Allah semata.

  2. Kelompok yang merasa, apa yang diamalkannya adalah karunia Allah untuknya.

  3. Kelompok yang merasa, bahwa segala sesuatu adalah pemberian Allah dan dikembalikan kepada Allah jua.

Kelompok pertama, adalah orang-orang yang selalu mengoreksi dirinya ketika menunaikan kewajibannya, ia sangat kuatir dengan amal ibadahnya sendiri (perasaan khauf), tetap mengadakan introspeksi, sehingga ia begitu berhati-hati dan juga bersedih hati.

Kelompok kedua, orang yang berperasaan bahwa segala sesuatu yang sudah diamalkan dan dilaksanakan semata-mata kehendak Allah, dan sebagai karunia dari Allah, ia selalu optimis (bersifat raja'), memandang segala sesuatu penuh pengharapan. Sehingga karena sebab itu ia tetap optimis dan berhati gembira, namun tetap waspada.

Kelompok ketiga, adalah orang yang menyerahkan segala-galanya kepada Allah, sehingga mereka lebih suka berserah diri dan lebih banyak bertawakal.

Abu Hasan Asy Syadzily berkata, ”Orang arif dan tinggi makrifatnya adalah orang yang arif kepada rahasia-rahasia yang diselipkan Allah di dalam berbagai karunia_Nya yang datang kepadanya melalui bermacam-macam cobaan dan ujian hidup. Ia pun tidak lupa mengakui seluruh kesalahannya sesuai dengan kasih sayang Allah Ta'ala kepadanya. Ia lebih meyakini bahwa sedikit amal dengan mengakui sebagai karunia dari Allah, daripada banyak amal, karena merasa kekurangan dan kelemahan diri, akan tetapi dalam sikap kekurangan itu akan menjadi baik dengan melebihkan dan menonjolkan kebaikan diri, lalu memikirkan, bagaimana agar menjadi lebih baik, lalu larut dalam pikirannya, semestinya ia tidak melalui jalan seperti itu, akan tetapi lebih utama ia bertawakal kepada Allah dalam amal ibadah. Sebab, apabila Allah Ta'ala belum waktunya memberi anugerah kepadanya, maka apa pun tidak akan berubah.

Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Talaq ayat 3:

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖ ۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

"Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu." (QS. At-Talaq 65: Ayat 3)

Sifat tawakal diperlukan dalam mengarungi hidup di dunia ini. Segala sesuatu terbatas pada usaha yang dilakukan manusia. Ada yang cepat mendapatkannya, ada yang lambat, dan ada yang tidak sama sekali. Adapula yang sukses dan adapula yang gagal. Dalam keterbatasannya itu manusia memerlukan Allah ada besertanya. Disinilah tawakal itu diperlukan.

Allah Ta'ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 58, mengingatkan para hamba Allah, bahwa dengan karunia Allah dan dengan rahmat-Nya pula, maka mereka pun bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik bagi mereka dari apapun yang telah mereka kumpulkan.

🙏