Basmalah



”Dengan menyebut nama Allâh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
JANGAN CEPAT MENERIMA PEMBERIAN.



لَا تَـمُـدَّ نَّ يَدَكَ اِلَى اْلأَ خْدِ مِنَ اْلخَلَا ءِقِ إِلَّا اَنْ تَرَى اَنَّ اْلمُعْطِىَ فِيْهِمْ مَوْلَاكَ فَإِذَا كُنْتَ كَذٰلِكَ فَخُذْ مَاوَا فَقَكَ اْلعِـلْمٕ .

"Jangan kalian mengulurkan tanganmu menerima suatu pemberian sesama makhluk, kecuali kalian telah berkeyakinan bahwa pemberian itu berasal dari Allah SWT. Jikalau kalian telah berperasaan seperti itu, terimalah pemberian itu sesuai dengan ilmu yang engkau pahami."



Menerima pemberian dari sesama kita, memang dibolehkan, selama pemberian itu tidak menyalahi syara'dan halal untuk diterima. Akan tetapi apabila pemberian itu tidak sesuai dengan syariat, maka hendaklah ditolak dengan bertenggang rasa, karena ingin menunjukkan toleransi kepada orang yang memberi, apabila pemberian itu adalah benda yang diperoleh dengan jalan yang tidak diizinkan oleh Allah Ta'ala, apalagi barang haram, lebih baik pemberian itu ditolak dengan cara halus dengan penuh hormat dan terimakasih, serta menyarankan untuk diberikan kepada siapa yang patut menerima tanpa sepengetahuan kita. Atau dimanfaatkan sendiri oleh sang pemilik.

Jikalau pemberian itu menurut keyakinan kita sesuai dengan syariat (asalnya dan cara memperolehnya), maka bolehlah diterima dengan hati ikhlas dan mengharap ridha Allah. Apalagi kalau berkeyakinan bahwa pemberian itu halal adanya dan berasal dari karunia Allah kepada orang yang memberi dan kita yang menerima. Andaikata pemberian itu tidak diperlukan, karena telah memiliki barang yang sama, maka terimalah pemberian itu dengan cara yang baik, kemudian hadiahkan untuk orang yang lebih memerlukan, supaya tidak termasuk orang-orang yang sering berlaku mubazir.

Pada dasarnya setiap pemberian orang atau sahabat dan handai taulan kepada kita, adalah karunia Allah, asal saja sesuai dengan penjelasan sebelum ini.

Selain pemberian yang tidak diharap-harapkan dan tidak sengaja ditunggu-tunggu hendaklah pula seorang hamba yang yang sibuk dalam makrifatnya, seperti seorang sufi, ia pun perlu berusaha, apabila keperluan hidupnya dan keluarganya belum terpenuhi untuk menunjang ibadahnya kepada Allah. Selama kemauan berusaha untuk mendapat kebutuhan maka seorang Sufi lebih utama berusaha (ikhtiar).

Umar bin Khattab berkata: "Rasulullah Saw. selalu memberi kepadaKu, lalu akan memohon agar pemberian itu ditujukan kepada orang yang lebih membutuhkan. Akan tetapi Rasulullah menyuruhnya menerima dan memanfaatkan, atau sedekahkan kembali. Karena setiap harta yang datang kepadamu, tidak karena engkau harapkan, hendaklah diterima dengan ikhlas. Sedangkan yang tidak datang untukmu jangan engkau angan-angankan".

Seorang pemuda pernah menemui seorang sufi, membawa hadiah sejumlah 200 dirham, sambil mengharapkan agar diterima oleh sang sufi. Pemuda itu mengatakan bahwa uang itu bukan dari raja, bukan uang syubhat (diragukan), atau diperoleh dari yang haram, sama sekali tidak. Sang sufi ini menjawab, "Semoga Allah Ta'ala memberkati pemberianmu ini, serta membalas kebaikanmu, serta terimakasih seikhlas-ikhlasnya dariku. Aku terpaksa belum dapat menerima pemberianmu ini." Sesudah pemuda itu pergi, ia ditanya oleh seorang sahabatnya, "Mengapa engkau menolak pemberian itu, bukankah keluargamu memerlukannya." Jawab sang sufi ini, "Aku khawatir kalau pemuda ini kembali ke tempat tinggalnya, lalu ia menceritakan kepada kawan-kawannya tentang pemberiannya, apalagi ia sangat muda dan sukar mengendalikan perasaannya. Dari mulutnya, bisa saja ia mengucapkan, bahwa ia telah memberi hadiah untukku sekian dan sekian, maka hilanglah pahala amalnya, dan lenyaplah pula pemberiannya."

Walaupun pemberian apalagi hadiah sesama muslim itu utamanya diterima dengan ikhlas, namun setiap pemberian jangan sampai berekor yang tidak baik. Atau dihubungkan dengan kehendak lain yang bukan pahala dari Allah. Orang membawa hadiah kepada kita, karena mengharapkan sesuatu jabatan atau kemudahan, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan fasilitas, terutama dengan hukum, agar ia tidak terkena sangsi, maka pemberian seperti itu menjadi perbuatan haram, dan termasuk suap. Sedangkan suap termasuk perbuatan yang diharamkan oleh syariat. Nabi Muhammad Saw. bersabda, : "Penyuap dan penerima suap sama-sama masuk neraka." Dalam hadits lain Rasulullah bersabda pula, "Siapa yang mendapatkan rezeki melalui saudaranya, bukan karena meminta-minta, atau mengharap-harap datangnya pemberian itu, hendaklah ia terima, karena pemberian seperti itu adalah rezeki yang diantarkan Allah untuknya."

Itulah pemberian yang dinamakan rezeki, sangat utama diterima, kecuali tidak jelas asal-usulnya (syubhat) maka patut ditolak, atau pemberian yang akan membawa fitnah bagi dirinya.

اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ.

"Sungguh Allah, Dialah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh." (QS. Az-Zariyat 51: Ayat 58)

🙏

“Barangsiapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa dia memintanya, maka hendaklah dia menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah kirimkan kepadanya.”(Shahih At Targhib).