TUTUR KATA IBARAT HIDANGAN.

الْعِبٕارَاتُ قَوْتٌ لِعَاءِلَةِ اْلمُسْتَمِعِيْنَ وَلَيْسَ لَكَ إِلَّا مَااَنْتَ لَهُ آكِلٌ .
”Tutur kata itu ibarat hidangan bagi pendengar, dan kalian tidak mendapatkan sesuatu pun kecuali apa yang kalian makan.”
Keterangan agama dan ajaran-ajarannya adalah ibarat makanan yang dihidangkan oleh para Da'i kepada umat. Enaknya suatu hidangan, dan bagaimana menyajikannya tergantung sang da'i, apakah makanan yang disajikan diterima dan dinikmati oleh umat yang mendengarkannya atau ditolak dan tidak dimakannya karena tidak enak.
Demikian pula hidangan itu dapat dimakan oleh orang yang kenyang dan dapat juga dimakan oleh orang lapar. Makanan yang disajikan itu, diterima oleh umat menurut selera mereka masing-masing. Yang sangat penting adalah bagaimana seorang menyajikannya, sehingga makanan itu sesuai selera semua orang.
Seorang Mubaligh, Guru, Syekh atau Kiai, ketika bertabligh, ibarat menyajikan hidangan kepada umat. Makanan itu dimakan atau tidak dimakan oleh umat tergantung kepada sang mubaligh ketika ia menyajikannya.
Penyajian seorang mubaligh harus sesuai dengan selera umat. Kebutuhan umat tentang agamanya sangat bervariasi. Oleh karena itu ia harus pandai memformulasikan pengetahuan dan pengalamannya dengan selera masyarakat yang dihadapinya.
Akan tetapi yang paling penting, ia harus berusaha agar makanan atau hidangan yang telah disiapkan dapat diterima dan enak dimakan sebagai hidangan yang lezat cita rasanya. Sehingga tabligh yang disampaikan diterima oleh umat, bermanfaat lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Dalam menyampaikan tabligh atau ajaran Islam para guru yang mursyid sering menggunakan ibarat-ibarat, simbol-simbol untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah yang diutarakan agar orang tidak gegabah mengambil suatu kesimpulan. Cara ini biasa dipergunakan oleh para sufi dan ahli hakikat dalam menelusuri jiwa manusia menghadapi hidup di dunia dan aneka ragam perbuatan atau perilaku manusia.
Seorang sufi yang terkenal, Muhyiddin Ibnul Araby, bertutur, ”Kami pernah diundang oleh seorang sahabat di Mesir. Di mana kami berjumpa dengan para Syekh. Hidangan pun dikeluarkan untuk menghormati tamu di atas piring mangkuk dan cawan yang indah dan bersih. Tiba-tiba di depan ahli sufi ini ada satu mangkuk yang lain daripada yang lain. Mangkuk ini umumnya dipakai untuk tempat buang air kecil, tetapi mangkuk ini pun diisi dengan hidangan.
Selesai orang-orang makan, maka berkatalah mangkuk ini, ”Hari ini aku telah mendapat kehormatan luar biasa, telah dipakai oleh para Syekh sebagai tempat makan mereka. Kehormatan ini atas izin Allah untukku, maka mulai saat ini aku tidak mau lagi dipergunakan untuk tempat kotoran manusia manusia. Aku ingin dipergunakan seterusnya sebagai tempat makan manusia. Lalu terbelah menjadi dua. Syekh Muhyiddin bertanya kepada yang hadir, apakah mendengar juga suara mangkuk tadi, mereka pun mendengar keluhan sang mangkuk dengan kata-kata, ”Saya telah dipakai untuk tempat makanan para Syekh, tidak mau lagi menjadi tempat kotoran manusia. ”Syekh Mahyuddin menyela: ”Bukan itu yang dikatakan.” Lalu apa yang diucapkan? Syekh Mahyuddin mengingatkan ibarat yang diucapkan oleh si mangkuk, adalah seperti juga kamu para Syekh, yang telah mendapat kehormatan dari Allah SWT. sebagai tempat bertahtanya iman, janganlah dirimu, janganlah dirimu yang telah ditempati oleh iman itu, diberi peluang untuk tempat kotoran, seperti maksiat, syirik dan lain-lain yang akan mengotori iman.
Ibarat di atas diambil dari peristiwa si mangkuk, benda mati yang diizinkan oleh Allah dapat berbicara untuk menjadi i'tibar bagi manusia yang hidup dan berakal. Bagi para sufi dan orang-orang yang makrifat, segala peristiwa yang terjadi adalah atas izin Allah. Setiap yang terjadi di dunia ini mempunyai maksud dan hikmah yang tersembunyi, hanya terbaca dan terdengar oleh orang yang dekat dan taqarrub dengan Allah Jalla Jalaluh.
Manusia telah diciptakan oleh Allah SWT. dengan kesempurnaan ciptaan, Allah memberikan untuk manusia, rasa, pikir, dan dzikir. Dengan dzikir dan ingat terus menerus kepada Allah, manusia telah mendekati Allah dan mendapatkan hidayah dan ridha-Nya. Dengan pikir, manusia memanfaatkan inderanya untuk bertafakur atas segala kejadian di alam semesta untuk dijadikan pelajaran dan i'tibar. Dengan rasa, manusia mampu mendengarkan suara alam semesta dengan inderanya yang lain, atau dengan hati nuraninya. Batinnya mampu mendengar bisikan alam semesta, karena dzikir dan pikirnya kuat dan terjaga dari kemaksiatan duniawi.
Menjadikan ibarat atau perumpamaan menjadi pelajaran memang sangat baik bagi pendalaman makrifat. Manusia hidup di lingkungan alam semesta dalam bentuk lambang, ibarat dan perumpamaan, suana alam semesta dengan segala peristiwa di dalamnya banyak mengandung pelajaran bagi manusia yang dapat mengambil i'tibar. Seperti dituturkan oleh Syekh Ahmad Ataillah:
رُبَّـمَـاعَبَّرَ عٕنِ اْلمَقَامِ مَنِ اسْتَشْرَفَ وَرُبَّمَا عَنْهُ مَنْ وَصَلَ اِلَـيْـهِ وَذٰلِكَ مُلْتَبِسٌ إِلَّا عَلٰى صَاحِبِ بَصِيْرَةٍ .
”Kadang-kadang ibarat yang disampaikan oleh orang yang sedang berjalan ke tempat kemuliaan, menerangkan soal-soal hakikat. Kadang-kadang orang yang telah sampai ke tingkat hakikat, menerangkan akan keadaannya, dalam bentuk ibarat-ibarat. Hal ini bisa samar bagi mereka yang belum sampai ke tingkat tertentu, kecuali bagi orang yang tajam basirahnya.”
Ungkapan ini mengingatkan hamba Allah terutama para Da'i agar berhati-hati menyampaikan ilmu yang belum dikuasainya, dan belum matang pelajarannya. Karena, apabila pelajaran seperti ini disampaikan akan membuat umat bingung dan kabur masalahnya, sehingga tidak memperoleh manfaat dan tidak dapat diamalkan.
Tidak semua orang dapat menangkap ilmu yang disampaikan dengan metode i'tibar dan perumpamaan. Hanya orang yang telah terlatih mata hati nuraninya, dan tajam makrifatnya yang mampu menyerap ilmu hakikat yang disampaikan dengan ibarat-ibarat.
Syeikh Ahmad Ataillah meneruskan keterangannya:
لَايَنْبَغِىْ للِسَّـالِكِ اَنْ يُعَبِّرَ عَنْ وَارِدَا تِهِ فَإِنَّ ذٰلِكٕ يُقِلُّ عَمَـلَهَا فِىْ قَلْبِهِ وَيَمْنَعُ وُجُوْدٕا لصِّدْقِ مَعَ رَبِّـهِ .
”Tidak layak bagi orang yang baru memulai menjalankan tariqat menerangkan melalui i'tibar yang telah ia peroleh, tentang ilmu kemakrifatan. Sebab akan memperkecil pengamalan dalam hatinya sendiri, dan menghalangi kesungguhannya terhadap Tuhannya.”
Memang ilmu yang berkenaan dengan agama dan pendalaman makrifat terhadap Tuhan memerlukan kematangan rasa, pikir, dan pengendapan jiwa raga. Sebelum dikuasai benar, janganlah terlebih dahulu ditablighkan, karena akan menggangu perasaan sendiri apabila terjadi kesalahan waktu menyampaikan dan menyesatkan umat. Demikian juga rahasia tentang makrifat itu sendiri tidak selalu disampaikan kepada umat, kecuali kepada hamba Allah yang basirahnya mampu menyerap ilmu tersebut. Rahasia makrifat Allah itu perlu menjadi hiasan kalbunya sendiri terlebih dahulu, melengkapi imannya, dan memperindah akhlaknya terhadap Tuhan dan sesama manusia.
Hubungan manusia dengan Allah melalui makrifat sebelum mencapai hakikat, ibarat hubungan urat nadinya dengan dirinya sendiri. Sangat dekatnya hubungan ini, membuat keakraban itu menjadi makrifat yang tumbuh dalam hidup manusia yang saleh sebagai ilmu yang sangat bermanfaat bagi ketekunan ibadah dan ketenteraman jiwa hamba-hamba Allah.
Allah SWT. berfirman: ”Wah Nahnu Aqrabu Ilahi Min Hablil Warid” (dan Kami (Allah) lebih kepada (manusia) melebihi urat kuduknya sendiri).
