KEGELAPAN DOSA MENGINGATKAN NIKMAT.

رُبَّـمَـا وَرَدَتِ الظُّـلَمُ عَلَيْكَ لِيُعَـرِّفَكَ قَدْ رَمَا مَنَّ اللّٰهُ بِهِ عَلَيْكَ .
”Seringkali kegelapan datang padamu, agar kalian ingat kembali besarnya nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”
Dosa itu adalah kegelapan. Dari dalam kegelapan itulah lahir bermacam-macam maksiat yang merugikan kehidupan jasmani dan rohani. Manusia yang telah terlibat dalam dosa, berarti ia jauh dari cahaya Allah. Kegelapan telah menutup cahaya Allah yang semula ada di dalam dirinya, dan setan menginginkan kegelapan itu dalam perbuatan dosa dengan bermacam-macam bentuk.
Manusia yang dihiasi dalam jiwanya dengan kebaikan dan keburukan, berusaha menghidupkan iman agar sifat-sifat buruk yang biasanya menyulut api kegelapan untuk menaklukkan kebaikan. Benteng iman yang menjadi perisai kebaikan itu mampu menghancurkan benteng kejahatan. Pergolakan antara kebaikan dan kejahatan itulah yang mengingatkan kembali kepada manusia akan karunia Allah, berupa iman dan taqwa, yang mampu melepaskan manusia dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Kegelapan itu adalah kegelapan setan, dan cahaya itu adalah cahaya Allah. Iman yang bersemi dalam diri manusia, baru akan berfungsi sebagai benteng pertahanan yang kokoh, setelah mendapat hidayah dan taufiq dari Allah SWT, hidayah itulah cahaya Allah yang mampu menghancurkan kegelapan. Apabila benteng iman itu tidak kuat ia akan jebol, lalu manusia pun masuk kepada perbuatan maksiat.
Di saat manusia dalam lembah dosa itulah, ia akan mengetahui bahwa kesucian lebih nikmat dari kemaksiatan dan kekotoran. Sesungguhnya perbuatan maksiat itu sangat sakit bagi pelakunya. Sebab maksiat sangat bertentangan dengan hati nurani manusia. Di saat pertentangan itulah manusia merasa sakit karena pertarungan yang terus menerus, sebelum salah satu dari dua sifat yang bertarung itu dapat dikalahkan. Apabila kejahatan dapat dikalahkan, barulah manusia mendapatkan nikmat Allah. Akan tetapi bila kebaikan dapat dikalahkan oleh kejahatan, maka kesakitan rohani akan terus menerus dirasakan oleh manusia. Sebab peperangan batin tetap berada dalam jiwa manusia.
Allah SWT. berfirman dalam surat Asy Syams, ayat 8-10, Maka Allah wahyukan kepada sifat buruk dan sifat baik. Berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya, dan sangat rugi bagi orang yang mengotori jiwanya.”
Syekh Ahmad Ataillah menuturkan:
مَنْ لَمْ يَعْرِفِ النِّعَمَ بِوُجْدَ انِهَا عَرَفَهَا بِوُجُوْدِ فُقْدَانِهَـا .
”Siapa yang tidak mengetahui begitu berharganya nikmat, ketika kenikmatan itu besertanya, maka barulah ia mengetahuinya nikmat itu setelah nikmat itu pergi meninggalkannya.”
Banyak manusia yang tidak berterima kasih atas nikmat Allah yang diberikan kepada mereka, berupa nikmat lahir dan batin. Manusia tidak berterima kasih dengan adanya nikmat iman dan nikmat Islam.
Syekh As Saqaty menerangkan, ”Siapa yang tidak menghargai nikmat, maka akan dicabutlah nikmat itu oleh Allah dalam keadaan tidak diketahuinya." Demikian juga Al Fudhail mengingatkan, "Tetaplah kamu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah. Sebab, apabila nikmat itu telah hilang, tidak mungkin ia kembali. Sesungguhnya hanya orang-orang yang haus akan nikmat Allah sajalah yang lebih mengetahui akan nikmat yang ada ditangannya." Seperti dikisahkan, hanya orang yang haus sajalah yang memahami nikmatnya air, dan hanya orang yang lapar sajalah yang mengetahui nikmatnya makan, serta hanya orang yang sakit sajalah yang memahami nikmatnya sehat.
Oleh karena itu, patutlah bagi hamba Allah bersyukur atas nikmat pemberian-Nya berupa iman dan Islam. Rasulullah Saw. bersabda, "Pandanglah kepada orang yang lebih rendah daripada engkau dan janganlah melihat orang yang ada di atasmu. Demikian itulah cara yang lebih baik, agar tidak engkau remehkan nikmat Allah yang telah engkau terima." ( Riwayat Bukhari).
Dalam riwayat yang sama dari sabda Rasulullah Saw. "Jikalau para hamba Allah memandang orang yang lebih banyak hartanya dari dirinya, maka hendaklah pula ia memandang kepada orang yang lebih kekurangan dari dirinya."
Ibarat dan sabda Rasulullah di atas memberi pelajaran, bagaimana caranya hamba Allah mensyukuri nikmat pemberian-Nya kepada mereka. Kadang-kadang nikmat-nikmat Allah itu tidak nampak, sehingga manusia tidak mengenal dan merasa bahwa Allah Ta'ala telah memberi mereka itu nikmat yang banyak. Atau manusia sendiri tidak mau mengenal nikmat Allah, karena ia merasa apa yang ada padanya, adalah karena hasil usaha kepandaiannya sendiri.
Ada pula manusia yang telah mendapat nikmat dari Allah, akan tetapi nikmat itu tidak berbekas padanya, sebab ia tidak mensyukuri nikmat itu, bahkan diikuti dengan keluh kesah. Ada orang yang tidak melihat nikmat Allah untuknya, karena ia banyak berharap nikmat yang lebih besar. Matanya tertutup oleh sifat tamak.
Orang yang tidak bersyukur kepada Allah, dan yang tamak atas nikmat. Mensyukuri nikmat Allah adalah tanda dari kebesaran jiwa si hamba, dan keunggulan iman dan keagungan Islam yang bertahta dalam jiwa si hamba.
Allah SWT. mengingatkan dalam Al Qur'anul Karim, surat Bani Israil ayat 83, ”Dan ketika Kami (Allah) memberikan nikmat kepada manusia, ia memalingkan muka dan bersikap angkuh, dan kita ia ditimpa keburukan ia berputus asa.”
Angkuh, tamak, atas pemberian Allah adalah tingkah laku dan sikap orang-orang yang mengingkari nikmat yang telah mereka terima dari Allah SWT. ”Sesungguhnya Allah sangat murah pemberian untuk manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”
(QS. Al Baqarah: 243).
Orang yang suka bersyukur dan banyak syukurnya kepada Allah, akan menyebut, ”Ini adalah anugerah dari Tuhanku, agar ia mencoba aku, apakah aku bersyukur atau aku kufur (ingkar). Siapa yang bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan siapa yang kufur, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An Bank: 40).
Kewajiban bersyukur adalah kewajiban manusia. Sebab manusialah yang paling banyak menerima anugerah nikmat dari Allah. Namun demikian bersyukur kepada Allah adalah menurut kemampuan manusia itu sendiri yang ia terima dari Allah. Seperti diingatkan oleh Syaikh Ataillah:
لَا تُدْ هِشْكَ وَارِدَاتُ النِّعَـمِ عَنِ اْلقِيَامِ بِحُقُوْقِ شُكْرِكَ فَإِنَّ ذٰلِكَ مِمَّا يُحِطُّ مِنْ وُجُوْدِ قَدْرِكَ .
”Janganlah kalian bingung, karena telah menerima bermacam kenikmatan dari Allah, dan menuntut kamu mensyukurinya. Karena sikap seperti itu akan melemahkan keberadaan dirimu.”
Manusia dituntut agar bersyukur atas nikmat Allah yang telah diterimanya menurut kemampuan yang juga diterima dari Allah SWT. bukan sebanyak nikmat yang diterima, akan tetapi sebesar kekuatan yang dimiliki.
Allah Ta'ala tidak memikulkan beban apapun kepada manusia, hanya sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Nikmat Allah dianugerahkan kepada manusia, sesuai dengan keagungan Allah sendiri. Manusia dituntut mensyukuri nikmat itu, sesuai dengan kekuatan manusia. Karena nikmat itu disyukuri bukan untuk diingkari.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. berkata, ”Nikmat yang diterima oleh seorang hamba, lalu mengucapkan Alhamdu lillahi Rabbil 'Alamin, maka nilai pujiannya itu jauh lebih besar maknanya dari nikmat yang diberikan Allah kepadanya.”
Telah berkata Nabi Dawud as. ”Allah SWT. telah memberi nikmat kepada setiap turunan Nabi Adam as. dengan rambut di atas maupun di bawah, bagaimana cara kita bersyukur kepada Allah.” Allah SWT., ”Aku (Allah) telah memberi sebanyak-banyaknya, dan rela menerima yang paling sedikit. Cara mensyukuri nikmat-Ku, ialah engkau mengakui bahwa nikmat yang telah engkau terima adalah engkau peroleh dari Aku.”
"Bersyukurlah atas yang sedikit, agar engkau pandai mensyukuri yang banyak, demikian juga bersyukurlah atas yang kecil, agar yang Maha Besar menerima syukurmu dengan pujian.”
Harapan orang beriman ialah, agar setiap nikmat yang diterima dari Allah SWT. diikuti dengan syukur dari para hamba-Nya, seperti bunyi do'a yang sering dipanjatkan oleh orang-orang saleh dan arif, agar supaya tetap menjadi orang yang bersyukur kepada Allah sepanjang hidup, tidak lalai dan tidak juga ingkar, ”Tuhanku, karuniai lah aku, agar aku lebih pandai mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada orang tuaku, dan agar aku tetap berbuat kebaikan yang Engkau ridhai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu, di kalangan hamba-hamba-Mu yang saleh.”
Itulah do'a yang sangat indah yang patut dipanjatkan oleh setiap hamba Allah, dan jadikan wirid yang menghiasi bibir dan hati umat Islam. Jangan sampai umat Islam dan hamba-hamba Allah yang saleh kehilangan langkah menuju Allah, karena kurang syukur, apalagi tidak pandai bersyukur.
"Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang."
(QS. Az-Zumar 39: Ayat 53)