ADANYA HAWA NAFSU.

لَوْ لَا مَيَـادِيْنُ النُّفُوْسِ مَاتَحَقَّقَ سَيْرُالسَّـاءِـرِيْنَ اِذْلَا مَسَـافَةَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ تَطْوِيْهَا رِحْلَتُكَ وَلَا قَطْعَـةَ بَيْنَكَ وَبَينَهُ حَتّٰى تَمْحُوْهَـا وَصْلَتُكَ .
“Umpama tidak ada lahan bagi nafsu, pasti tidak jelas perjalanan orang menuju Allah. Oleh karena tidak ada jarak antara engkau dengan Allah Ta'ala yang dapat ditempuh dengan kendaraan, dan tidak ada pemutusan engkau dengan Allah, kecuali hubunganmu sendiri yang menghapuskannya.“
Menuju Allah, bukan perjalanan yang mudah dan tidak mulus. Banyak rintangan dan halangan. Orang boleh berjalan cepat dan boleh berjalan lambat atau juga boleh merangkak, tetapi rintangan menuju Allah tetap ada.
Rintangan yang besar dalam perjalanan menuju kepada Allah adalah hawa nafsu. Bobot rintangan itupun tidak sama antara seseorang dengan lainnya. Bergantung kepada manusia yang menjalankan. berat ringannya rintangan seimbang dengan berat ringannya amal ibadah kita sendiri. Demikian juga bergantung dengan kemampuan kita bertarung dengan hawa nafsu. Apabila iman dan amal ibadah kita kuat menjatuhkan benteng hawa nafsu, maka perjalanan menuju Allah akan lebih cepat karena rintangan makin berkurang atau tidak ada rintangan sama sekali. Nikmat terbesar ialah apabila manusia telah dapat menumpas hawa nafsu dan bebas dari pengaruhnya.
Memang, berjalan menuju Allah ialah dengan menghancurkan hawa nafsu dan akibat-akibatnya. Ada banyak akibat dari hawa nafsu itu. Di antara akibat hawa nafsu adalah pengaruh kepada jiwa manusia. Jika manusia menjadi kerdil karena sakit, hilang kemauan untuk berusaha melepaskan diri. Tidak mampunya melepaskan diri kalau hanya mengandalkan kemauan tanpa menghidupkan kembali ruhul iman dalam hati. Malas bertindak karena hilangnya himmah yang menggerakkan kemauan. Pikiran cepat buntu dan timbul putus asa. Daya tarik menuju hawa nafsu lebih kuat daripada menuju Allah. Selalu terlambat datangnya kesadaran, karena pikiran lebih dahulu membayangkan kelezatan hawa nafsu daripada kehendak kembali ke jalan Allah. Banyak lagi akibat yang menjadi rintangan dalam menempuh perjalanan menuju Allah.
Pokoknya, hawa nafsu adalah tirai tebal antara manusia dengan Allah SWT.
Seorang Sufi bernama Hatim Al 'Asam berkata, “Siapa yang ingin masuk golongan kami (sufi), harus dapat membunuh hawa nafsu empat kali. Pertama, ia harus mati merah, artinya pandai mengekang hawa nafsu. Kedua, ia mati hitam, artinya sabar dan tabah menanggung godaan dan tipu daya setan. Ketiga, ia mati putih, artinya kuat menanggung lapar (perut sering dikosongkan dengan berpuasa). Keempat, ia mati hijau, yaitu kehendak menahan diri dari kemewahan dunia, dengan memakai pakaian sesederhana mungkin.“
Abu Qasim Al-Qusyairy mengatakan hakikat menumpas atau membunuh hawa nafsu itu ialah melepaskan diri dengan sungguh-sungguh dari belenggu dan tipuannya. Tidak terpengaruh oleh godaan yang datang darinya terutama yang lezat dan nikmat, tidak menjadi bingung menolaknya dan bimbang menghancurkannya, karena terkait dengan kepentingan pribadi yang menguntungkan. Jangan lalai dalam menyerahkan segalanya kepada Allah SWT.