SIBUK MEMUJA ALLAH LUPA MEMUJI DIRI SENDIRI.

اَلْمُؤْمِنُ يُشْغِـلُهُ الشَّنَـاءُ عَلى اللّٰهِ تَعَالَى عَنْ اَنْ يَكُوْنَ لِنَفْسِهِ شَـاكِرًا وَتُشغِـلُهُ حقُوْقُ اللّٰهِ عَنْ اَنْ يَكُوْنَ لِحُظُوْظِهِ ذَاكِرًا .
"Orang mukmin suka menyibukkan diri memuja Allah Ta'ala, sehingga lupa pada dirinya, demikian juga menunaikan akan hak-hak Allah, sehingga lupa mengurus kepentingan dirinya sendiri."
Kesibukan manusia mengurus kehidupan adalah wajar, sebagai tanda bersyukur kepada Allah atas semua pemberian dan kenikmatan yang diterima dari Allah SWT. Kenikmatan yang berupa anugerah Allah wajib dipelihara dan diberi tempat yang wajar pula. Artinya tidak dipergunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan perintah Allah dan larangan Allah.
Manusia dengan kesibukan dunianya itu jangan sampai melupakan tugas dan kewajibannya menunaikan hak-hak Allah yang telah memberi kenikmatan kepadanya. Adalah menjadi kewajiban hamba Allah setelah memberi arti bagi jasmaninya, ia pun wajib memberi arti bagi ruhaninya.
Ada dua kedudukan manusia dalam mengarungi hidup dunia ini, ialah sebagai abid kepada ma'bud-nya, gelarnya adalah 'abdullah, dan sebagai sesama hamba Allah dengan tugas menyelamatkan pemberian Allah dari kerusakan dan kemusnahan, gelarnya adalah khalifatullah.
Dua tugas ini diemban bersama-sama dalam waktu yang bersamaan. Ia menjadi hamba Allah sekaligus ia adalah khalifatullah. Dalam arti lain, tugasnya menunaikan kewajiban terhadap Allah, memuja dan ingat kepada-Nya, tidak berarti ia harus meninggalkan kewajiban untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Demikian juga sebaliknya, tugas dan kewajiban seorang hamba terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat, harus disibukkannya sehingga lupa terhadap tugas dan kewajiban yang harus ditunaikan untuk Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian ungkapan Syekh Ahmad Ataillah di awal bab ini dapat dibaca sebagai ungkapan yang berarti: "Orang yang beriman dalam kesibukannya menyembah Allah, jangan lupa kepada tugasnya terhadap dirinya dan keluarganya serta masyarakat.